Borobudur
Untuk artikel tentang kecamatan dengan nama sama, lihat Borobudur, Magelang.
Borobudur
|
|
Arca Buddha dan stupa Borobudur |
|
Lokasi dalam Indonesia
|
|
Informasi bangunan
|
|
Lokasi
|
Kecamatan Borobudur,
sekitar 3 Km dari Kota Mungkid
(ibukota Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah).
|
Negara
|
|
Arsitek
|
|
Klien
|
|
Awal konstruksi
|
sekitar 770 Masehi
|
Penyelesaian
|
sekitar 825 Masehi
|
Sistem struktural
|
piramida berundak dari susunan blok batu andesit yang
saling mengunci
|
Jenis
|
|
Ukuran
|
luas dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi
asli 42 meter (termasuk chattra)
|
Candi
Borobudur
|
|
Tipe
|
Budaya
|
i, ii, vi |
|
Nomor
identifikasi
|
|
Tahun
pengukuhan
|
1991 (sesi ke-15)
|
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih
100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat
laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur
adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,sekaligus salah satu monumen
Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras
berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada
dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.Borobudur memiliki koleksi relief
Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.Stupa utama terbesar teletak di
tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk
bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra
(sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam
semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha
sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun
umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.Para peziarah masuk melalui sisi
timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci
ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga
tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel
relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah,
Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan
Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal
Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975
hingga 1982 atas upaya Pemerintah
Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs
bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan
sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha
yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.
Nama
Borobudur
Stupa Borobudur dengan jajaran
perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan
purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang
berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian).
Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari
kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.Nama Borobudur pertama kali ditulis
dalam buku "Sejarah Pulau Jawa"
karya Sir Thomas Raffles.Raffles menulis mengenai monumen
bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.Satu-satunya naskah Jawa kuno
yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama,
yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang
kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore
(Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa
tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin
berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti
"purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti
gunung.
Banyak teori
yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama
ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di
lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur
berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi
menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua
kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal
dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan
lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks
candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau
mengingatkan dalam bahasa Bali yang
berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara
atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk
mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa
Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan,
Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat
diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur
diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula
disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh
Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.Istilah Kamūlān sendiri
berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci
untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur.
Lingkungan
sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut
terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer
(25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas
bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah
utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di
sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat
pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan
Sungai
Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal
sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap
suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
Tiga
candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa
candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal
abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam
satu garis lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu
kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya
beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi
para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga
candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan
ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan
adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada,
akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum
diketahui secara pasti.
Selain candi Mendut dan Pawon, di
sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya,
diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan
bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan
purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi
bersebelahan dengan Museum Samudra
Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan
reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan
beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa,
Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon
amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat
penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini
disimpan di Museum
Nasional Indonesia.
Danau
purba
Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di
sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang
dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan
ketinggian 265 m (870 kaki)
dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki)
di atas dasar danau purba yang telah mengering.Keberadaan danau purba ini
menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan
menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah
danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp,
mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur
dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung
di atas permukaan danau.Bunga teratai baik dalam bentuk padma
(teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai
putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali
digenggam oleh Boddhisatwa sebagai
laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau
sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian
menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga
diduga melambangkan kelopak bunga teratai.Akan tetapi teori Nieuwenkamp
yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para
arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti
arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa
pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru
mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen
lumpur di dekat situs ini.Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel
serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di
lingkungan sekitar Borobudur,yang memperkuat gagasan
Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari
waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah
kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14.
Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah
bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya.
Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang
menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki
tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.Kurun waktu ini sesuai dengan
kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur
diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar
dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta
mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha.
Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang
taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto
menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.Pada kurun waktu itulah dibangun
berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M,
raja beragama Siwa Sanjaya
memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga
yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km
(6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.Candi Buddha Borobudur dibangun
pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian
Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih
awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha —
termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada
umat Buddha untuk membangun candi.Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan
pembiayaan Candi Kalasan
yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para
arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah
yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa
saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang
menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa
— yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di
perbukitan Ratu Boko.Ketidakjelasan juga timbul
mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya
dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk
menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,akan tetapi banyak pihak percaya
bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara
kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi
Siwa di Prambanan.
Tahapan
pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa
rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai
puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini
membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan
stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan
tahapan pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
- Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
- Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Konsep
rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah
sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit
yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta,
sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.Bagaikan sebuah kitab, Borobudur
menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan
menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m
(400 kaki)
pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah
berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak
disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.Kaki tersembunyi ini terdapat
relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada
relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir
untuk membuat adegan dalam gambar relief.Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini
untuk mencegah kelongsoran monumen.Teori lain mengajukan bahwa
penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak
sesuai dengan Wastu
Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.Apapun alasan penambahan kaki
ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan
mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual
dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian
besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat
konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini
terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian
kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300
gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat
sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu
menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan
empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras
bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan
relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan
ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam
atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran
lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga
barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil
berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing
berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya
sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun
ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud,
yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang
menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar
dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa
terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut
juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung
'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di
dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya
pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di
halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang
dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan,
kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat
hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur
No comments:
Post a Comment